Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Tuhan oleh Karen Armstrong

Sejarah Tuhan oleh Karen Armstrong

Ketika buku yang cukup tebal muncul dari sebuah penerbit di bandung, Mizan, dengan judul yang begitu mengguncangkan perasaan kaum agamis, "SEJARAH TUHAN", buku tersebut kemudian menjadi seperti kacang goreng yang banyak sekali dibeli dan dibaca oleh bermacam-macam orang, terutama dari kalangan islam, yang mayoritas di Indonesia, walaupun harga yang tertera cukup mahal untuk kantong orang kebanyakan. Saya juga sempat mendengar bahwa buku tersebut juga menduduki buku best seller di negeri Barat (terutama Amerika Serikat).

Sebelum buku tersebut di terbitkan di Indonesia, seorang teman pernah menunjukkan kepada saya buku tersebut hasil dari pemberian teman bulenya, dalam bentuk fotokopian versi bahasa inggris, sehingga tidak begitu dapat kupahami, mengingat lemahnya bahasa Inggris saya dan tentu saja menyebabkan, waktu itu, tidak muncul ketertarikan atas buku tersebut dalam diri saya. Namun setelah buku tersebut terbit dalam bahasa Indonesia, dengan terjemahan yang cukup apik, buku tersebut kemudian menjadi salah satu buku yang membangkitkan gairah bacaku.

Secara tersurat dan jelas, dari judulnya saja sudah dapat diprediksi bahwa isinya merupakan suatu rangkaian pemahaman dan keyakinan dari jaman musa sampai jaman modern sekarang ini mengenai ide-ide seputar teologis atau ketuhanan yang ditulis mengikuti perjalanan waktu dari sejarah atau tahapan hidup manusia. Ditulis dengan gaya santai dan unik serta kronologis, dengan kedalaman empati dan pengertian rasa yang begitu tinggi dari sang penulis menjadi setiap kalangan yang membaca, baik itu dari pihak kristen, yahudi, islam atau yang lain, merasa tersanjung dan terbela keyakinannya.

Berbagai diskusi dan komentar apik pun berterbangan ke sana ke mari dari para mulut agamawan, pakar teologis, santri, rohaniawan, bahkan orang awam sekalipun seperti saya. Buku inilah yang kemudian menjadikan Karen Amstrong tenar dan sedemikian banyak di sebut di Indonesia khususnya kaum terpelajar.

Buku-buku karangannya yang lain kemudian menyusul terbit dan tentu saja mengikuti buku pertamanya juga terjual laris manis. Berperang demi Tuhan, Buddha, Sejarah Islam, merupakan beberapa karyanya yang kemudian menjadi sedemikian laku di Indonesia.

Dalam membahas setiap episode manusia dalam memahami dan meyakini kepercayaan terhadap Tuhan, entah itu dari pihak yahudi, nasrani atau islam, bahkan kaum ateis, Karen selalu saja berusaha secara empatik untuk masuk kedalam perasaan dan jiwa para pemuja tuhan tersebut kemudian berusaha menjelaskan dan mengelaborasi serta memberikan suatu pencerahan, dengan bahasanya sendiri, kenapa kepercayaan itu bisa timbul.

Tidak salah jika setiap pembahasan mengenai tuhan ia selalu mengedepankan rasa dibandingkan aspek intelektualitas atau kritik. Maksudnya adalah Ia mengedepankan pemahaman dari pada mencari kelemahan-kelemahan teologis. Ia mengabaikan logika intelektual demi tujuan pemahaman psikologis-teologis. Salah satu kalimat atau pendapat pribadi yang paling sering ia munculkan berkali-kali dalam buku tersebut (dalam kalimat saya) adalah bahwasanya setiap kepercayaan atau teologi mengenai Tuhan dalam periode waktu tertentu akan mengalami suatu perubahan dikarenakan situasi dan kondisi manusia itu sendiri.

Setiap konsep akan ditentang kemudian secara lambat laun atau drastis digantikan dengan konsep atau keyakinan yang lain yang lebih sesuai atau mampu beradaptasi atau cocok dengan kondisi masyarakat waktu itu. Konsep ketuhanan yang lama akan digantikan dengan konsep ketuhanan yang baru apabila dirasa konsep ketuhanan yang lama tidak lagi diterima oleh masyarakat dalam periode tersebut. Salah satu pandangan subjektifnya yang bersumber dari harapannya akan kedamaian dan kebermaknaan hidup antar sesama manusia muncul dalam bentuk teologis perdamaian.

Simak saja paragraf terakhir dari Sejarah Tuhan yang ia tulis, "Manusia tidak bisa menanggung beban kehampaan dan kenestapaan; mereka akan mengisi kekosongan itu dengan menciptakan fokus baru untuk meraih hidup yang bermakna. Berhala kaum fundamentalis bukanlah pengganti yang baik untuk Tuhan; jika kita mau menciptakan gairah keimanan yang baru untuk abad kedua puluh satu, mungkin kita harus merenungkan dengan seksama sejarah Tuhan ini demi menarik beberapa pelajaran dan peringatan."

Beberapa kesalahpahaman dari proses pembacaan ini banyak muncul dari kalangan Islam di Indonesia. Mereka banyak yang menganggap bahwa buku tersebut membela dan menyokong kepercayaan Islam.

Dengan mengutip kata-kata atau kalimat pujian yang diberikan Karen kepada pendiri Islam yaitu Muhammad, banyak pihak dari kalangan islam merasa terbela dan mengangguk atas pemahaman empatik yang diberikan oleh Karen. Bahkan Jalaludin Rahmatpun mengungkapkan atau mengisyaratkan hal yang sama (baca Catatan Sufistik). Hal ini lah yang saya kira menjadikan alasan kenapa mereka menyebut Karen berpihak pada teologis Islam.

Padahal jika membaca secara keseluruhan dan utuh dari karya Karen tersebut, Karen tidak bermaksud demikian. Karen tidak berusaha memihak satu teologi manapun, ia hanya berusaha memahami secara empatik dan kronologis, jikalau ada keberpihakan biasanya Karen memihak karena alasan moral dari dalam dirinya, yaitu keberpihakan pada teologi yang menjunjung kedamaian hidup di dunia.

Simak saja tulisannya mengenai teologi sufi yang kecenderungan keberpihakan kepadanya lebih tinggi (sebagaimana ia juga memihak kaum kabbalah) dibandingkan teologi kaum fundamentalis, walaupun ia juga sempat memberikan kritik bahwa tuhan para kaum mistik ini sulit di aplikasikan di tataran sosial masyarakat.

Maka tidak heran jika kalangan islam (terutama kaum fundamentalis) selalu kebingungan dan bertanya-tanya kenapa setelah begitu memihak islam dan begitu memahami serta memuji nabi muhammad dan kebenaran ajarannya, Karen tidak berganti keyakinan dan menjadi seorang Islam. Banyak pertanyaan yang muncul mempertanyakan hal ini.

Saya yakin hal ini dikarenakan kekeliruan pemahaman atas Karya Karen itu sendiri dari para pembaca yang berasal dari kalangan Islam sebagaimana telah saya jelaskan di atas. Setiap orang yang mengatakan bahwa buku Sejarah Tuhan tersebut memihak pada salah satu agama, saya yakin tidak memahami dan mengerti betul-betul karya Karen tersebut.

Bahkan dalam buku biografinya yang di terbitkan oleh Mizan, Menerobos Kegelapan, Karen tidak menyinggung atau mengelaborasi secara jelas masalah perubahan ideologisnya atau keyakinannya. Pembelaan terhadap islam juga tidak di dapatkan dari sana. Dalam sampulnya di tuliskan juga ia menganut keyakinan independen mengenai tuhan yang dikatakan sebagai "freelance monoteism". Namun saya kurang begitu yakin dengan hal ini mengingat dalam biografinya ia tidak menyebutkan atau menjelaskan mengenai hal ini. Saya tidak tahu dari mana penerbit menemukan istilah tersebut.

Salah satu gairah yang dituliskan dari penderita epilepsi ini malah lebih bersifat sufistik, yaitu sewaktu ia merasakan ketenangan dan kejernihan, atau dalam istilahnya Daniel Goleman (baca Emotional Intelegent) disebut sebagai "flow", sewaktu melakukan proses penulisan karya-karyanya. Ia seperti menulis dan menulis tanpa beban dan terus mengalir tiada henti seolah mengalir dari sumber mata air yang tiada berhenti alirannya. Demikianlah yang ia nyatakan. Dalam terminologi sufistik ia telah mencapai pencerahan atau "trans" lewat metode menulis. Hal itulah yang sangat saya rasakan ketika membaca biografinya tersebut.

Dengan demikian persepsi umat Islam yang begitu menyanjung dan memuji buku “Sejarah Tuhan” sebagai buku yang menyokong dan membela islam dibandingkan dengan agama atau teologi yang lain merupakan sesuatu kekeliruan yang fatal (Sebagaimana hal itu juga banyak terjadi kekeliruan pemahaman atas karya Karen pada penganut agama selain Islam).

Hal tersebut memang sering dilakukan oleh para tokoh atau penganut Islam (demikian juga dengan penganut agama yang lain). Hal tersebutlah yang saya sebut sebagai sikap “apologis yang membabi-buta”. Sebagai mana pernah dilakukan dalam pembacaan para penganut Islam atas Karya Edward Said. Suatu hal yang saya anggap terlalu gegabah dan terburu-buru.

Semoga Bermanfaat... Dalam hangatnya empati yang merasuk ke dalam diri.


Image courtesy: CitaKita